KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT
Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas mengamati tumbuhan harendong (Melastoma malabathricum) di Gunung Anak Krakatau, Selat Sunda. Di gunung ini, tim memfokuskan eksplorasi mengenai suksesi alam. Gunung Anak Krakatau, pada awal kemunculannya tidak dihuni makhluk hidup, kini menjadi habitat berbagai macam flora dan fauna. Berdasarkan survei antara 1981 dan 2008 telah ditemukan sebanyak 122 jenis pohon berkayu, 42 jenis semak belukar, 71 jenis tanaman merambat, dan 173 jenis tanaman obat-obatan.
Krakatau memang tak hanya berarti petaka dan kematian. Tukirin dan para ahli botani telah memberikan pelajaran bahwa Krakatau juga sumber pengetahuan penting bagi geologi, vulkanologi, hingga biologi. Tracey Louise Parish dari Universitas Utrecht, Belanda, menyebutkan, Krakatau merupakan sebuah kasus yang unik dan tak ternilai yang mengisahkan bagaimana penghancuran dan pemulihan kehidupan kembali di alam tropis yang kompleks.
Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas mengamati tumbuhan harendong (Melastoma malabathricum) di Gunung Anak Krakatau, Selat Sunda. Di gunung ini, tim memfokuskan eksplorasi mengenai suksesi alam. Gunung Anak Krakatau, pada awal kemunculannya tidak dihuni makhluk hidup, kini menjadi habitat berbagai macam flora dan fauna. Berdasarkan survei antara 1981 dan 2008 telah ditemukan sebanyak 122 jenis pohon berkayu, 42 jenis semak belukar, 71 jenis tanaman merambat, dan 173 jenis tanaman obat-obatan.
Krakatau memang tak hanya berarti petaka dan kematian. Tukirin dan para ahli botani telah memberikan pelajaran bahwa Krakatau juga sumber pengetahuan penting bagi geologi, vulkanologi, hingga biologi. Tracey Louise Parish dari Universitas Utrecht, Belanda, menyebutkan, Krakatau merupakan sebuah kasus yang unik dan tak ternilai yang mengisahkan bagaimana penghancuran dan pemulihan kehidupan kembali di alam tropis yang kompleks.
Lebih istimewa
lagi karena penghancuran dan pemulihan itu tercatat sedari awal.
"Biografi Pulau Krakatau sangat lengkap. Terlengkap yang pernah dibuat
di dunia ini. Hanya Krakatau, pulau yang sejak letusan dinyatakan steril
selalu terdata secara reguler penambahan populasinya," kata Tukirin.
"Dalam hal ini, kita harus berterima kasih kepada ilmuwan dunia,
khususnya Belanda, yang mencatat sejak dini."
Selain itu,
munculnya Anak Krakatau juga memberikan kesempatan sekali lagi kepada
peneliti untuk membangun teori tentang suksesi ekologi dan kolonisasi di
sebuah pulau yang muncul dari laut. Tumbuhnya Anak Krakatau juga
memberikan pembelajaran bagaimana letusan-letusan itu memengaruhi arah
suksesi di pulau lain sekitarnya.
Krakatau memberikan pelajaran
tentang Bumi yang hidup dan terus tumbuh. Kelahiran dan kematian gunung
api, lalu kebangkitan kembali ekologi di tabula rasa, adalah pokoknya.
Namun, sudahkah kita belajar?
Hidup
berdamping dengan gunung api merupakan kemestian yang dialami
masyarakat Nusantara sedari dulu. Diberkahi 129 gunung api aktif, atau
30 persen dari gunung api di dunia, tak memungkinkan kita menjauhinya Di
balik ancaman dan petaka yang dikirimnya, gunung api menciptakan
bentang alam Nusantara yang istimewa dan unik, selain juga kekayaan
mineral dan panas bumi yang berlimpah. Namun, pertanyaan kuncinya adalah
bagaimana siasat kita hidup berdampingan dengan gunung-gunung api itu?
"Selama
ini kita baru sedikit mengetahui soal Anak Krakatau dan juga kaldera
Proto Krakatau. Penelitian tentang hal ini masih sangat kurang," kata
Sutikno Bronto, "Bahkan, masih banyak masyarakat yang tidak tahu
keberadaan kaldera-kaldera tua itu."
Minimnya pengetahuan dasar
tentang Krakatau ini membuat pengetahuan tentang potensi ancaman dari
Anak Krakatau yang terus tumbuh membesar itu juga nyaris tidak ada.
Bagaimana mau melakukan mitigasi bencana jika kita tak cukup pengetahuan
tentangnya. "Semuanya bermuara pada minimnya dana dan perhatian ke
soal-soal gunung api," keluh Surono.
Dia menceritakan, saat Anak
Krakatau menggeliat di bulan Oktober 2001 itu, selama lebih dari dua
minggu, pusat kontrol gunung api di kantornya kehilangan akses langsung
terhadap perkembangan Anak Krakatau dan gunung-gunung api di seluruh
Indonesia. "Sambungan satelit diputus karena tagihannya tidak dibayar,"
kata Surono. "Akhirnya kembali ke manual, perkembangan situasi gunung
api dilaporkan lewat SMS, faks, dan telepon."
Surono juga
menceritakan tentang kurangnya alat, petugas pemantauan, dan tenaga ahli
yang menangani gunung api. "Belum semua gunung api terpantau. Kami
terpaksa memilih mitigasi terhadap gunung api yang letusannya bisa
berdampak besar terhadap masyarakat," katanya.
Setiap tenaga ahli
di PVMBG, kata Surono, harus menangani minimal lima gunung api. "Ini
kondisi sangat tidak ideal. Di Jepang, satu gunung api dikeroyok oleh
puluhan ahli," katanya.
Bahkan, Singapura yang tak memiliki
gunung api selangkah lebih maju dibandingkan Indonesia. Negara tetangga
yang relatif aman dari bencana geologi ini memiliki pusat kajian tentang
gunung api, Earth Observatory of Singapore, di bawah naungan Nanyang
Technological University. "Beberapa ahli kita bergabung di sana," kata
Surono. Ke depan, barangkali Indonesia harus belajar tentang gunung api
dari Singapura.
Seperti penelitian geologi dan vulkanologi yang
minim, perhatian di bidang botani juga sangat kurang. "Yang memanfaatkan
Krakatau, laboratorium suksesi alam satu-satunya dan terlengkap,
kebanyakan peneliti dan media asing," kata Tukirin.
Tukirin
satu-satunya peneliti botani dari Indonesia, yang bertahan menekuni
suksesi Krakatau. "Saya menjadi peneliti Krakatau awalnya karena
kebetulan. Semua penelitian saya ke Krakatau sejak 1980-an tidak
dibiayai Pemerintah Indonesia sepeser pun, tetapi nebeng dari penelitian
universitas dan lembaga luar negeri," kata Tukirin, yang ke Krakatau
minimal setahun sekali ini.
Kita memiliki keajaiban alam tiada
duanya, tetapi tidak peduli. "Saat ke Oxford, ditanya saya meneliti
Krakatau, profesor di sana langsung bilang, Krakatau selalu jadi rujukan
dalam kuliah biogeografi. Di sekolah-sekolah di Jepang, pelajaran
tentang suksesi primer juga selalu mengambil contoh Krakatau. Tapi, di
Indonesia banyak yang tak paham soal keunikan Krakatau ini," katanya.
Senja
mulai menjelang saat perahu kayu membelah gelombang, meninggalkan
kehidupan dan kehijauan yang mulai pulih di tengah keterpencilan
kompleks Krakatau. Tukirin sekali lagi menatap puncak Anak Krakatau yang
mengepulkan asap tipis. "Semakin lama, pemulihan alam di Krakatau
semakin sulit karena hutan di Jawa dan Sumatera yang menjadi sumber
benih semakin hilang," ujarnya.
Kekhawatiran Tukirin perlahan
mewujud. Perlahan-lahan bayangan kawasan pesisir Banten kian jelas dan
membesar. Lampu-lampu hotel, perumahan, dan cerobong asap pabrik
menyesaki pinggir pantai, tak menyisakan lagi ruang bagi hutan.
Sepanjang kawasan yang pernah tersapu tsunami letusan Krakatau itu kini
penuh sesak dengan manusia.
Hampir malam saat kami tiba di Pantai
Carita-Anyer, debur ombak memecah pantai. Angin sepoi-sepoi. Nun jauh,
dalam samar, Anak Krakatau berdiam diri di tengah laut. Inilah pantai
yang sejak zaman Belanda telah menjadi tempat warga Jakarta lari dari
penat.
Tsunami setinggi 25 meter yang pernah melanda kawasan ini
saat Krakatau meletus pada 1883 nyaris tak terlihat jejaknya selain
karang sebesar rumah yang terserak di pekarangan salah satu hotel di
sana. Tak banyak pengunjung yang mengenali riwayat batu karang itu yang,
menurut catatan Simkin dan Fiske (1983), terbongkar dari bawah laut dan
terseret ke pantai karena empasan tsunami.
Bagi Ketua
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Provinsi Banten Achmad Sari
Alam, Gunung Anak Krakatau dan aktivitas vulkaniknya merupakan aset
wisata belaka. "Anak Krakatau itu bukan ancaman, tapi potensi wisata
yang dapat dimanfaatkan untuk mengundang wisatawan datang ke Banten,
terutama ke kawasan pantai sepanjang Anyer-Carita," kata Achmad.
Pada
saat gelombang Selat Sunda tidak tinggi dan cuaca cerah, wisatawan
dapat diajak melihat panorama Anak Krakatau lengkap dengan lelehan lava
pijar maupun letupan seperti kembang api di malam hari ketika gunung api
tersebut sedang beraktivitas vulkanik. "Anak Krakatau sudah masuk ke
dalam paket wisata yang ditawarkan bagi turis yang hendak berkunjung ke
Indonesia, baik mereka yang datang berwisata melalui Lampung maupun
Banten," katanya.
Sekalipun Anak Krakatau terus memberikan
peringatan dengan letusan-letusan kecil nyaris sepanjang tahun, nyaris
tak ada kekhawatiran bahwa bencana akan mungkin kembali terulang. Cara
pikir masyarakat di pesisir Banten dan Lampung itu mengingatkan pada
keadaan sebelum letusan Krakatau 1883.
"Memang, setiap orang
pernah mendengar cerita tentang letusan di zaman kuno, dan ada orang
yang mengamati peta dan beranggapan mereka pernah mendengar cerita
ketika Jawa dan Sumatera merupakan satu pulau yang kemudian terbelah
menjadi dua akibat peristiwa vulkanik mahadahsyat di zaman dahulu,"
tulis Winchester. "Sebagian orang waktu itu beranggapan Krakatau sudah
lama padam dan tidak lagi berbahaya."
Sejarah seperti berulang.
Anak Krakatau bagi kebanyakan orang hanyalah tontonan, dan batu pijar
yang kerap dilontarkannya seolah kembang api tahun baru yang sama sekali
tidak berbahaya. "Asalkan tak terlalu dekat," kata Achmad. Sungguh,
sejarah kehancuran itu sudah terkubur dalam-dalam di benak masyarakat.
0 komentar
Posting Komentar