Gangguan identitas disosiatif (dahulu dikenal sebagai gangguan
kepribadian majemuk) adalah gangguan jiwa yang berasal dari akibat
sampingan dari trauma parah pada masa kanak-kanak (bahasa
Inggris:childhood umur 3 -11 tahun) dan remaja (bahasa
Inggris:adolesence umur 12 -18 tahun).
Individu
biasanya mengalami pengalaman traumatis yang cukup ekstrem dan terjadi berulang
kali yang mengakibatkan terbentuknya dua atau lebih kepribadian yang berbeda.
Masing-masing individu dengan ingatan sendiri, kepercayaan, perilaku, pola
pikir, serta cara melihat lingkungan dan diri mereka sendiri. Setidaknya dua
kepribadian ini secara berulang memegang kendali penuh atas tubuh si individu.
Sejarah
Istilah gangguan identitas disosiatif merupakan sebuah istilah baru, dahulu
gangguan ini dikenal dengan gangguan kepribadian majemuk ataupun banyak yang
menyebutnya kepribadian ganda, istilah ini
lalu diperkenalkan pada tahun 1987.
Pada abad
ke-18, keahlian para dukun untuk berubah menjadi roh binatang
ataupun peristiwa kerasukan dianggap sebagai fenomena seseorang yang mempunyai
kepribadian ganda. Kasus Eberhardt Gmelin (1791)
dianggap sebagai kasus kepribadian ganda pertama yang dilaporkan, walaupun
sebelumnya pernah terjadi peristiwa amnesia yang menyerupai gejala
kepribadian ganda yang dilaporkan pada tahun 1664.
Pada tahun 1812,
Benjamin Rush,
yang juga dijuluki sebagai Bapak Psikiatri Amerika, mengoleksi kasus-kasus
gangguan disosiatif dan kepribadian ganda. Dia menulis buku psikiatri
pertama tentang gangguan kepribadian ganda berjudul "Pertanyaan Medis dan
Pengamatan dari Penyakit Kejiwaan" (asli dalam bahasa Inggris: "Medical
Inquiries and Observations Upon Disesases of the Mind"), teorinya
mengatakan bahwa gangguan kepribadian ganda terjadi karena kerusakan hubungan
pada 2 hemisper
otak.
Pada akhir abad ke-19, Eugene Azam,
seorang profesor bedah tertarik pada hipnosis,
menerbitkan sejumlah laporan tentang Felida X, Felida X lahir di tahun 1843,
kehilangan ayahnya pada masa bayi dan masa kanak-kanak hidup dengan pengalaman
yang menyakitkan. Felida X memiliki 3 kepribadian dimana kepribadian 1 adalah
kepribadian normalnya dan 2 lagi kepribadian lainnya yang abnormal.[rujukan?]
Pierre Janet melaporkan beberapa kasus kepribadian ganda pada akhir abad
ke-19 dan abad ke-20 awal,
seperti kasus Leonie, Lucie, Rose, Marie, dan Marceline.
Pada era 1880-1920, banyak konferensi medis internasional yang membahas
tentang disosiasi. Jean-Martin Charcot
memperkenalkan gagasannya tentang disosiatif, dia mengatakan bahwa
"gegar" (shock) pada saraf
mengakibatkan berbagai kondisi neurologis
yang abnormal.
Kasus kepribadian ganda pertama yang pernah diselidiki secara ilmiah adalah
kasus Clara Norton Fowler pada tahun 1906.Pada tahun 1987, istilah
Gangguan Kepribadian Majemuk (Multiple Personality Disorder disingkat
MPD) pada DSM II mulai
digantikan menjadi Gangguan Disosiatif (Dissociative disorder) pada DSM III.
Pada tahun 1989,
Frank W. Putnam
menerbitkan buku "Diagnosis and Treatment of Multiple Personality
Disorder" dan ditahun yang sama Colin A. Ross mencatat dan menerbitkan
penelitian Gangguan Kepribadian Majemuk: Diagnosis, Ciri-ciri Klinis, dan
Pengobatannya (judul asli dalam bahasa Inggris:"Multiple Personality
Disorder: Diagnosis, Clinical Features, and Treatment".)
Era baru dimulai kembali pada tahun 1994 saat
diterbitkannya DSM-IV
gangguan ini berganti nama menjadi Gangguan Identitas Disosiatif (Dissociative
Identity Disorder).
Di Indonesia istilah-istilah ini menjadi lebih dikenal semenjak diterbitkan
buku yang diangkat dari kisah nyata dan menjadi banyak terjual (best-seller)
pada tahun 2000an. Buku yang bercerita tentang penderita-penderita gangguan
identitas disosiatif diantaranya: Sybil, Karen, ,dan Billy
Kriteria diagnosis
Terdapat empat kriteria untuk
mendiagnosis gangguan identitas disosiatif pada seseorang yakni:
- Kehadiran dua atau lebih kepribadian.
- Kepribadian tersebut dapat mengendalikan perilaku
- Ketidak-mampuan untuk mengingat informasi penting yang melebihi kelupaan pada normalnya
- Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat atau kondisi medis umum.
Tanda dan gejala
Penderita gangguan identitas disosiatif memiliki
gejala-gejalan sebagai berikut:
Depersonalisasi dan derealisasi
Penderita mengalami perasaan tidak nyata, merasa terpisah dari diri sendiri
baik secara fisik maupun mental. Penderita merasa seperti mengamati dirinya
sendiri, seolah-olah mereka sedang menonton diri mereka dalam sebuah film.
Penderita merasa tidak mendiami tubuh mereka sendiri dan menganggap diri
sebagai orang yang asing atau tidak nyata.
Mengalami distorsi waktu, amnesia, dan penyimpangan waktu
Penderita kerap kali mengalami kehilangan waktu, dimana kadang-kadang mereka
menemukan sesuatu yang tidak diketahuinya, ataupun tersadar disuatu tempat yang
tidak dikenal, sementara mereka tidak sadar kapan pergi ketempat itu.
Sakit kepala dan keinginan bunuh diri
Penderita seringkali merasa sakit kepala, dan mendengar banyak suara-suara
dikepalanya (mirip dengan gejala skizofrenia).
Beberapa kepribadian mendorongnya untuk melakukan bunuh diri.
Fluktuasi tingkat kemampuan dan gambaran diri
Berubah-ubahnya kondisi penderita terjadi saat satu kepribadian bertukar
dengan kepribadian lain. Misalnya, saat kepribadian A muncul, maka kepribadian
tersebut adalah kepribadian yang mempunyai kemampuan berhitung yang bagus.
Sementara saat kepribadian lain muncul, kemampuan kepribadian A pun menghilang.
Jadi, kemampuannya berubah tergantung dari kepribadian mana yang muncul. Begitu
juga dengan gambaran dirinya, berfluktuasi sesuai kehadiran setiap kepribadian.
Kecemasan dan depresi
Individu umumnya mengalami kecemasan
dan depresi
karena berulang kali mengalami hal-hal yang tidak diingatnya.
Diagnosis
Membuat diagnosis untuk gangguan identitas disosiatif tidaklah mudah dan
memakan waktu yang lama. Diagnosis bisa dilakukan dengan wawancara terstruktur
dan melalui beragam tes psikologi.
Penyebab
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan gangguan identitas disosiatif,
yaitu:
- Kemampuan bawaan untuk memisahkan kepribadian dengan mudah.
- Pelecehan seksual pada masa kecil yang berulang.
- Kurangnya orang yang melindungi ataupun menghibur dari pengalaman buruk yang dialami.
- Pengaruh dari anggota keluarga lain yang memiliki gangguan psikologis.
Penyebab utama gangguan identitas disosiatif sebenarnya adalah trauma
berkepanjangan yang dialami pada masa kanak-kanak. Trauma tersebut terbentuk
akibat beragam penyiksaan dan pelecehan, seperti: penyiksaan dan pelecehan
seksual, kekerasan fisik, kekerasan secara psikologis, dan juga ritual-ritual
aneh yang menyakiti sang korban (Satanic Ritual Abuse)
Pengobatan
Beberapa gejala gangguan identitas disosiatif mungkin akan muncul dan hilang
secara fluktuatif, namun gangguannya sendiri akan terus ada. Pengobatan untuk
gangguan ini terutama terdiri dari psikoterapi
dan hipnosis.
Terapis berupaya mengungkap dan menemukan semua kepribadian yang terdapat
dalam diri penderita dengan proses hipnosis. Pada saat terhipnosis dan individu
masuk ke dalam kondisi ambang, terapis dapat memanggil/ bertemu dengan
kepribadian-kepribadian lainnya. Memahami peran dan fungsi masing-masing
kepribadian. Terapis akan berusaha untuk membangun hubungan yang baik dan
efektif dengan setiap kepribadian dan berusaha untuk menjadi sosok yang dapat
dipercaya dan memberikan perlindungan. Setelah mengetahui, memahami, dan
memiliki hubungan yang baik dengan setiap kepribadian, proses selanjutnya
adalah membuat kepribadian aslinya untuk bisa menerima dan membuka diri kepada
kepribadian lainnya. Pada kebanyakan kasus yang terjadi kepribadian asli
tidaklah sadar akan keberadaan sosok lain dalam dirinya.Namun,
kepribadian-kepribadian lainnya sadar akan keberadaan sosok asli.
Lazimnya tujuan akhir terapi adalah untuk mengintegrasikan suatu kepribadian
dimana hal ini berhasil untuk kasus Sybil[ dan
Karen. Prosesnya berlangsung dengan menghipnosis individu untuk bisa menerima
dan bersatu kembali dengan kepribadian lainnya. Proses ini tidak berjalan
dengan mudah, karena setelah penyatuan tersebut individu biasanya akan
merasakan kembali hal-hal yang dialami kepribadian lainnya, seperti pengalaman
disakiti, dilecehkan, dan juga percobaan bunuh diri. Kembalinya ingatan
tersebut membuat masalah baru bagi individu, dan membutuhkan penanganan
lainnya. Namun, hal ini tidak berhasil untuk beberapa kasus. Banyak kasus
berakhir tanpa penyembuhan. Obat-obatan medis seperti anti-depresan
dan anti-psikotik
juga kadang-kadang digunakan, untuk mengendalikan pikiran dan perasaan individu
agar tetap pada kondisi normal.
Sumber : wikipedia
Sumber : wikipedia
0 komentar
Posting Komentar